Oleh: Fatrica Syafri dan Jeni Melisa (Pengurus PW Fatayat NU Bengkulu) Foto. Berita Rafflesia
BENGKULU – Dalam Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 tentang pemilu ada amanat yang harus dijalankan yaitu keterlibatan perempuan minimal 30% dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum.
Undang-undang ini juga mengatur bahwa komposisi keanggotaan KPU dan Bawaslu harus memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 30%.
Dalam prakteknya bahwa amanat undang-undang tersebut masih sering kali terabaikan dan terkesan tidak dipedulikan di negeri ini.
Meski sudah memenuhi syarat atas keterwakilan perempuan dalam ajang pemilihan keanggotaan Bawaslu beberapa waktu lalu, namun kenyataannya perempuan hanya dijadikan sebagai Simbol legalitas dan formalitas belaka.
Padahal, jika kita telaah lebih dalam, UU ini mengamanatkan minimal 30% keterwakilan perempuan, artinya akan lebih baik jika lebih dari 30% karena itu angka minimal yang diharapkan.
Melihat peluang dan tantangan keterwakilan perempuan dalam politik, khususnya penyelenggara, ada catatan penting dari kami Fatayat NU Bengkulu bagi kaum perempuan. Ucap Fatrica Syafri dan Jeni Melisa Pengurus PW Fatayat NU Bengkulu dikutif dari Beritarafflesia.com
Melihat hasil pengumuman anggota Bawaslu Provinsi periode 2022-2027 kemaren malam, hal itu menunjukkan bahwa undang-undang tentang keterwakilan perempuan tidak lagi menjadi pertimbangan dalam mengambil keputusan.
Ini jelas sangat menyedihkan. Yang mana, perempuan-perempuan yang muncul dalam pemilihan keanggotaan bawaslu baru-baru ini hanya sebagai “Simbol” pemenuhan kuota 30%.
Dalam hal ini tentu para perempuan harus berfikir keras serta senantiasa terus belajar mengoptimalkan potensi diri, agar kedepan dapat memiliki daya juang yang tinggi dalam menghadapi perbedaan gender tersebut.
Selain itu membangunkan kesadaran pengambil kebijakan tentang asas kesenjangan antara laki-laki dan perempuan dalam posisi pengambilan kebijakan.
Pentingnya peran perempuan untuk memperjuangkan hak sesama perempuan harus lebih luas disadari oleh seluruh rakyat Indonesia.
Karena setidaknya ada tiga dasar keterwakilan perempuan 30% di KPU dan Bawaslu dari tingkat pusat hingga daerah harus diwujudkan.
Pertama, ada aturan hukum di level internasional dan di dalam negeri yaitu undang-undang pemilu yang mengharuskan minimum 30% perempuan anggota KPU dan Bawaslu di pusat, provinsi serta kabupaten/kota.
Kedua, menjadi akses bagi perempuan untuk masuk di dalam institusi politik dan muaranya adalah mempengaruhi proses pembuatan kebijakan.
Ketiga, memastikan struktur penyelenggara dan pelaksanaan pemilu yang berkeadilan gender.
Selanjutnya, pada tahap seleksi penyelenggara pemilu, baik BAWASLU maupun KPU yang sampai hari ini sepertinya hanya berpatokan pada angka minimal dan ini juga belum terpenuhi, tanpa mempertimbangkan bahwa sebenarnya bisa menuju angka maksimal.
Hal ini didasari pada hasil akhir tahap seleksi yang hanya menyisakan satu kursi kepada perempuan untuk ada di jajaran pimpinan BAWASLU maupun KPU.
Dan pada akhirnya, hari ini kita saksikan bersama dari pengumuman Bawaslu RI keterwakilan perempuan untuk di jajaran BAWASLU Provinsi Bengkulu menjadi “Kosong” (0). (**)
Artikel ini dikutif dari laman Beritarafflesia.com