BeritaJakartaNasional

Jet Tempur Impian Republik Indonesia Dan Realitas Fiskal Yang Tidak Bersahabat

8777
×

Jet Tempur Impian Republik Indonesia Dan Realitas Fiskal Yang Tidak Bersahabat

Sebarkan artikel ini
Jet Tempur Impian Republik Indonesia  F-15EX, foto. TSM-aha

JAKARTA, TIRTAPOS.com – Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa Kementerian Pertahanan Republik Indonesia mengincar pesawat tempur Rafale buatan Dassault Aviation dan F-15EX produksi Boeing untuk memperkuat pertahanan Indonesia yang akan digunakan oleh Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara (TNI AU), Kamis (19/06/2022).

Dilansir Tirtapos.com dari Teknologi & Strategi Militer. Demi ambisi tersebut, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto melakukan lobi intensif kepada Prancis dan Amerika Serikat, termasuk bertemu dengan menteri pertahanan kedua negara sahabat itu.

Selain itu, Prabowo juga menyewa pelobi dari K Street untuk memuluskan rencana mengakuisisi F-15EX, di mana K Street di Washington DC merupakan nama jalan para pelobi ulung berkantor.

Lobi-lobi intensif untuk mendapatkan izin ekspor Rafale dan F-15EX ke Indonesia telah berhasil, ditandai dengan penandatanganan kontrak pembelian enam Rafale dan opsi tambahan 36 Rafale (total 42 unit) pada 10 Februari 2022 di Jakarta.

Serta terbitnya notifikasi Defense Scurity Cooperation Agency kepada Kongres untuk penjualan F-15EX ke Indonesia pada 10 Februari 2022.

Hal demikian, sesungguhnya menunjukkan satu garis depan medan perjuangan Kementerian Pertahanan untuk membawa pulang Jet tempur generasi 4.5, yaitu front luar negeri.

Front lainnya yang harus dimenangkan oleh Kemhan adalah front dalam negeri, yaitu bagaimana program akuisisi Rafale dan F-15EX masuk dalam Daftar Rencana Pinjaman Luar Negeri Jangka Menengah Khusus (DRPLN-JM) 2020-2024.

Daftar Rencana Prioritas Pinjaman Luar Negeri (DRPPLN) untuk selanjutnya mendapatkan Penetapan Sumber Pembiayaan (PSP) dari Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.

Pada 8 Maret 2022, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) telah menerbitkan DRPLN-JM Khusus untuk Kemhan senilai US$ 17,6 miliar yang berasal dari Pinjaman Luar Negeri (PLN) dan US$ 3,1 miliar dana pendamping atau dikenal juga sebagai Rupiah Murni Pendamping (RMP).

Untuk pengadaan pesawat tempur bagi TNI Angkatan Udara, kementerian tersebut mengalokasikan satu kegiatan yang memerlukan PLN sebesar US$ 1,3 miliar dan RMP senilai US$ 245,7 juta.

Terkait dengan besaran alokasi anggaran kegiatan yang telah disetujui oleh kementerian yang berlokasi di Taman Suropati, Jakarta tersebut, terdapat beberapa hal yang dapat menjadi catatan.

1. Skala Prioritas Kegiatan

Walaupun Kemhan mempunyai ambisi memborong pesawat tempur dari Paris dan Washington DC secara simultan, realitas fiskal menunjukkan kementerian yang dipimpin oleh Prabowo itu harus memilih skala prioritas, yaitu apakah mendahulukan pengadaan lanjutan Rafale ataukah memprioritaskan akuisisi F-15EX.

Dari aspek legal, Indonesia sudah menandatangani Memorandum of Understanding opsi pembelian 36 Rafale dengan Dassault Aviation.

Sedangkan untuk rencana akuisisi F-15EX, hingga saat ini Jakarta belum menandatangani Letter of Offer and Acceptance (LoA) dengan Washington DC.

BACA JUGA:  Sudah Tahukah Anda WhatsApp Rilis Fitur Baru Bisa Sembunyikan Bukti Lawan Chat, Berikut Caranya

Jet tempur manakah yang akan menjadi prioritas bagi Kemhan saat ini?

2. Kuantitas Akuisisi Pesawat Tempur

Dengan asumsi nilai US$ 1,3 miliar dalam DRPLN-JM nantinya akan mendapatkan PSP dari menteri keuangan, maka jumlah burung besi yang dapat dibeli oleh Kemhan hanya sekitar enam atau tujuh unit saja.

Hal itu mengacu pada nilai kontrak enam Rafale yang disepakati beberapa bulan lalu.

Apabila asumsi tersebut benar, maka Kemhan masih mempunyai opsi 30 Rafale lagi.

Sementara apabila Kemhan memutuskan memakai dana itu untuk pengadaan F-15EX, maka jumlahnya pun tidak akan jauh beda dengan pembelian Rafale.

3. Persenjataan

Paket kontrak pembelian Rafale yang ditandatangani pada 10 Februari 2022 silam, belum termasuk persenjataan yang akan diusung oleh jet tempur itu karena nilai PSP yang disetujui oleh menteri keuangan hanya US$ 1,1 miliar.

Sedangkan usulan PLN sebesar US$ 1,3 miliar dalam DRPLN-JM Khusus dari Bappenas tidak mencakup paket persenjataan Rafale.

Mengacu pada usulan dari Kemhan, diperlukan PLN senilai US$ 478 juta untuk membiayai pengadaan senjata pesawat tempur buatan Dassault Aviation tersebut.

Pada 26 April 2022, Menteri PPN/Kepala Bappenas telah menerbitkan DRPPLN Khusus Tahun 2022 untuk Kemhan bernilai US$ 2 miliar.

DRPPLN tersebut selanjutnya menunggu penerbitan PSP oleh menteri keuangan.

Nilai DRPPLN sebesar US$ 2 miliar termasuk rendah selama beberapa tahun terakhir dan belum diketahui berapa besaran PSP yang akan disetujui oleh menteri keuangan nantinya.

Mengacu pada praktik selama ini, nilai PSP yang disetujui oleh menteri keuangan biasanya lebih kecil dari besaran DRPPLN yang diterbitkan oleh Menteri PPN/Kepala Bappenas.

Hal yang menarik dari DRPPLN, yakni tidak adanya kegiatan pengadaan pesawat tempur bagi TNI Angkatan Udara, walaupun aktivitas itu sebelumnya tercantum dalam DRPLN.

Artinya, Kemhan tidak bisa mengeksekusi kontrak lanjutan akuisisi Rafale maupun kontrak baru pembelian F-15EX.

Aktivitas pembelian kapal selam pun tidak tercantum dalam DRPPLN, begitu pula dengan kegiatan pengadaan fregat FREMM dari Italia.

Padahal program akuisisi Rafale, F-15EX, kapal selam dan fregat FREMM merupakan program unggulan Kemhan.

Realitas fiskal saat ini menunjukkan kondisi yang tidak bersahabat dengan ambisi Kemhan untuk memodernisasi kekuatan udara dan laut secara signifikan.

Akan tetapi realitas itu juga bukan suatu hal yang mengejutkan karena telah diprediksi sejak tahun lalu.

Tanpa adanya suatu alokasi anggaran khusus untuk memenuhi kebutuhan belanja pertahanan, sulit bagi Kemhan untuk memodernisasi kekuatan pertahanan secara besar-besaran dalam waktu singkat untuk memenuhi target Minimum Essential Force 2010-2024.

Kata kunci alokasi anggaran khusus adalah arahan dari Presiden Joko Widodo (Jokowi). (Aha-Tsm/tp)