Tak hanya dilakukan oleh pejabat dan alat Negara, kejahatan korupsi sudah merambah hingga tingkat Desa. Korupsi bukan hanya dilakukan oleh orang-orang terpelajar dengan berbagai gelar, tapi juga dilakukan oleh orang awam.
Bahkan lebih miris lagi, korupsi dilakukan oleh orang-orang yang bertitel haji, tokoh agama ataupun orang-orang yang dipandang menguasai nilai-nilai ketuhanan. Terpuruknya lagi, perilaku yang bertentangan dengan norma agama dan aturan Negara ini bahkan menyasar pada institusi pendidikan mulai dari Pendidikan Anak Usia Dini hingga Perguruan Tinggi.
Sejahtinya, pendidikan agama Islam dijadikan media pembetukan moral bangsa. Namun, selama ini pembelajarannya masih bersifat monoton bahkan membosankan. Pembelajaran berkutat pada membaca ayat, menerjemahkan, hafalan dan ceramah.
Guru acapkali menjelaskan pelajaran dengan metode monolog, memberikan penjelasan secara interaktif dan terkesan memonopoli pembelajaran. Selain membosankan, terkadang model monolog tak berhasil dalam menanamkan nilai-nilai spiritual kepada peserta didik.
Meski terkesan efektif, akan tetapi model monolog hanya akan mempertontonkan kepintaran gurunya. Guru semakin pintar dan murid tak ubahnya seperti robot, lantaran siswa tidak dilibatkan secara aktif. Siswa diposisikan sebagai objek yang bersifat pasif tidak memiliki peran dalam proses belajar mengajar.
Dalam kondisi itu, guru dianggap dewa yang serba tahu dan serba benar, sementara siswa hanya pasrah menerima penjelasan. Padahal pendidikan agama Islam sangatlah dinamis bagi pembentukan karakter dan akhlak peserta didik.
Jika pembelajaran pendidikan agama Islam tidak segera dibenahi, dikhawatirkan kerusakan bangsa Indonesia semakin mendalam. Kejahatan moral menjalar, tindakan asosial dan amoral makin marak. Bangsa ini akan semakin sulit bangkit dari keterpurukan.