Kaur – Seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi di era modern, industri pers mengalami transformasi yang signifikan. Namun, di balik kemajuan ini, tantangan besar muncul dalam dunia jurnalistik, terutama terkait dengan etika dan profesionalisme. Banyak jurnalis di lapangan menghadapi dilema, bahkan hingga terseret ke ranah hukum.
Kebebasan pers, yang seharusnya menjadi corong informasi publik dan kontrol sosial, perlahan berubah arah. Dalam praktiknya, sebagian media mulai keluar dari kaidah-kaidah dasar jurnalistik.
Etika dan profesionalisme yang seharusnya menjadi landasan kerja jurnalis sering kali terlupakan, sehingga jurnalis kehilangan jati dirinya dalam menjalankan tugasnya.
Fenomena “Wartawan Nano-Nano” dan “Wartawan GU”
Di tengah dinamika ini, muncul berbagai istilah yang menggambarkan kondisi dunia pers saat ini, seperti “Wartawan Rasa LSM, LSM Rasa Wartawan”, yang kemudian dirangkum menjadi “Wartawan Nano-Nano”.
Istilah ini merujuk pada fenomena jurnalis yang cenderung berperilaku tidak sesuai dengan etika profesinya.
Lebih parah lagi, di lingkup pemerintahan muncul istilah “Wartawan GU” (GU adalah dana yang dianggarkan untuk wartawan pada dinas instansi di daerah tertentu atau disebut juga uang bensin wartawan) yang merujuk pada sekelompok oknum yang mengaku sebagai wartawan.
Namun tujuannya hanya untuk mendapatkan “jatah GU” dari instansi pemerintah, praktik ini membuat wartawan kehilangan fungsi utamanya sebagai penjaga keadilan dan penyampai informasi publik.
Tidak sedikit wartawan yang terjerat kasus pidana karena melakukan pemerasan, dengan data yang diperoleh digunakan sebagai alat untuk mengintimidasi.
Beberapa di antaranya bahkan tertangkap dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh aparat penegak hukum.
Antara Bisnis dan Tanggung Jawab Profesional
Dalam perkembangannya, industri pers semakin berorientasi pada bisnis. Namun, sayangnya banyak perusahaan pers yang belum siap secara finansial untuk mendukung operasionalnya.
Hal ini memicu munculnya praktik-praktik yang melenceng dari etika jurnalistik, seperti mengandalkan pemasukan yang tidak sah demi “menghidupkan dapur redaksi.”
Tanggung jawab perusahaan pers untuk menjaga kualitas jurnalisnya semakin berat ke depannya.
Rekrutmen jurnalis harus lebih selektif, tidak sekadar mencari jumlah, tetapi mengutamakan kompetensi.
Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah dengan menyelenggarakan Uji Kompetensi Wartawan (UKW) secara berkelanjutan.
Hal ini penting untuk menciptakan jurnalis yang berkompeten dan memahami kaidah-kaidah jurnalistik dengan baik.
Pentingnya Menjaga Marwah Profesi Wartawan
Salah satu Pengurus Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Kaur, Fadli Abbas menekankan pentingnya menjaga marwah profesi wartawan.
“Jangan rusak profesi wartawan dengan berbagai alibi untuk menyamarkan fungsi pers yang sebenarnya,” ujarnya.
Di sisi lain, wartawan sering kali juga menjadi korban kekerasan atau intimidasi dari pihak-pihak tertentu.
Risiko profesi ini sering kali tidak sebanding dengan pendapatan yang diterima. Oleh karena itu, penting bagi jurnalis untuk tetap berpegang teguh pada etika dan aturan yang diatur dalam undang-undang pers.
Industri pers saat ini tengah menghadapi tantangan besar dalam menjaga etika dan profesionalisme.
Oleh karena itu, peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) jurnalis melalui pelatihan dan uji kompetensi menjadi sangat penting.
Dengan begitu, profesi wartawan dapat kembali ke jalurnya sebagai penjaga keadilan dan penyampai informasi yang akurat dan bermanfaat bagi masyarakat. (yti)