BeritaLebong

Pengadilan Agama dan Itsbat Nikah: Kemitraan dalam Menegakkan Keadilan

4231
×

Pengadilan Agama dan Itsbat Nikah: Kemitraan dalam Menegakkan Keadilan

Sebarkan artikel ini
Foto: Ilustrasi Net

Oleh : M. Yanis Saputra, S.H.I., M.H

(Hakim Pengadilan Agama Lebong)

banner 768x960

Latar Belakang

Dalam dinamika kehidupan masyarakat, pernikahan merupakan salah satu peristiwa penting yang menandai dimulainya sebuah keluarga. Namun, tidak semua pernikahan dilakukan dengan prosedur formal dan tercatat secara resmi.

Adanya pernikahan-pernikahan yang tidak tercatat ini melahirkan kebutuhan akan suatu mekanisme untuk memberikan pengakuan hukum atas status perkawinan tersebut. Di sinilah letak pentingnya institusi isbat nikah dan peran Pengadilan Agama.

Pernikahan siri, atau pernikahan yang tidak tercatat secara resmi, telah menjadi fenomena yang cukup umum di masyarakat. Meskipun memiliki alasan-alasan tertentu seperti faktor ekonomi, sosial, atau budaya, pernikahan siri juga membawa sejumlah tantangan.

Salah satunya adalah ketidakpastian hukum terkait status perkawinan dan hak-hak yang timbul darinya. Anak-anak yang lahir dari pernikahan siri, misalnya, seringkali kesulitan mendapatkan akta kelahiran atau menghadapi kendala dalam memperoleh hak waris.

Untuk mengatasi permasalahan tersebut, negara hadir dengan menyediakan mekanisme isbat nikah. Isbat nikah pada dasarnya adalah proses pengesahan atau penetapan secara hukum terhadap pernikahan yang telah dilakukan namun belum tercatat secara resmi.

Melalui proses peradilan agama, pasangan yang mengajukan permohonan isbat nikah akan diminta untuk membuktikan bahwa mereka telah melakukan pernikahan sesuai dengan ketentuan agama dan hukum yang berlaku.

Oleh karena itu, pada kesempatan ini, Penulis ingin memberikan informasi mengenai defenisi, tujuan dan dasar hukum adanya itsbat nikah serta peran pengadilan agama di dalamnya. Hal ini didasarkan dengan adanya keresahan penulis akan permasalahan yang terjadi di masyarakat karena kurangnya informasi yang didapatkan oleh masyarakat.

BACA JUGA:  Pengungkapan Kasus Kasatpol PP VS Kasubag Terhalang Offroad

Defenisi dan Tujuan Itsbat Nikah

Kata “itsbat nikah” berasal dari bahasa Arab. “Itsbat” memiliki arti yang luas, mulai dari penetapan, kepastian, pencatatan, hingga verifikasi. Sedangkan “nikah” merujuk pada proses pernikahan itu sendiri, termasuk akad nikah dan hubungan suami istri.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Itsbat artinya penyungguhan, penetapan, penentuan. Secara keseluruhan, isbat nikah adalah proses hukum untuk memastikan dan mengesahkan secara resmi suatu pernikahan yang telah dilakukan.

Sebelum adanya aturan wajib mencatat pernikahan, banyak pasangan yang menikah secara agama namun tidak mendaftarkan pernikahannya secara resmi. Ketika aturan pencatatan pernikahan diberlakukan pada tahun 1974, muncullah kebutuhan untuk mengesahkan pernikahan-pernikahan yang sudah terjadi sebelumnya.

BACA JUGA:  Tanggapi Isu Robek Bendera Merah Putih, Polres Pandeglang Sampaikan Fakta Ini

Proses pengesahan inilah yang kemudian disebut sebagai isbat nikah. Pengadilan Agama diberikan kewenangan untuk menyelesaikan perkara isbat nikah, terutama bagi pasangan yang menikah secara siri sebelum tahun 1974. Hal ini didasarkan pada prinsip bahwa pernikahan yang dilakukan sebelum berlakunya UU Perkawinan 1974, selama memenuhi syarat agama, tetap dianggap sah.

Isbat nikah, dalam konteks hukum acara peradilan agama, dikategorikan sebagai perkara voluntair atau permohonan. Artinya, perkara ini diajukan atas kemauan sendiri oleh pihak yang merasa berkepentingan, tanpa adanya pihak lawan yang mengajukan tuntutan.

Berbeda dengan perkara contensious (persengketaan) di mana terdapat dua pihak yang berlawanan kepentingan, dalam perkara voluntair, pihak yang mengajukan permohonan hanya meminta pengadilan untuk memberikan suatu penetapan atau putusan.

Konsep jurisdictio voluntair ini menunjukkan bahwa permohonan isbat nikah diajukan semata-mata untuk mendapatkan kepastian hukum mengenai status perkawinannya. Pihak pemohon tidak sedang berperkara dengan pihak lain, melainkan hanya meminta pengadilan untuk mengesahkan pernikahan yang telah dilakukan.

Namun, perlu diingat bahwa tidak semua perkara permohonan dapat diterima oleh pengadilan. Secara umum, perkara permohonan hanya dapat diterima jika terdapat kepentingan hukum yang jelas dan diatur dalam undang-undang. Dalam kasus isbat nikah, kepentingan hukum yang dimaksud adalah untuk memberikan kepastian hukum bagi pasangan suami istri dan anak-anak mereka, serta untuk menjaga ketertiban administrasi kependudukan.

BACA JUGA:  Traditional gold miners nearly died after falling into a dughole.

Meski begitu ada juga perkara itsbat nikah dapat bersifat kontensius, (perkara yang pihaknya terdiri dari pemohon melawan termohon atau penggugat melawan tergugat).

Pertama, Jika permohonan diajukan oleh salah seorang suami atau isteri, dengan mendudukkan suami atau isteri sebagai pihak Termohon.

Kedua, Jika pernohonan diajukan oleh suami atau isteri sedang salah satu dari suami isteri tersebut masih ada hubungan perkawinan dengan pihak lain, maka pihak lain tersebut juga harus dijadikan pihak dalam permohonan tersebut.

Ketiga, Jika permohonan diajukan oleh suami atau isteri yang ditinggal mati oleh suami atau isterinya, tetapi dia tahu ada ahli waris lainnya selain dia. Dan keempat, Jika permohonan diajukan oleh wali nikah, ahli waris atau pihak lain yang berkepentingan.

Isbat nikah adalah jalan keluar bagi pasangan yang ingin mendapatkan pengakuan resmi atas pernikahan mereka. Dengan memiliki akta nikah, mereka dapat melindungi hak-hak mereka dan anak-anak mereka, seperti hak untuk mendapatkan warisan, hak untuk mengurus dokumen kependudukan, dan hak untuk mendapatkan perlindungan hukum.

BACA JUGA:  Sinergi Menuju Pertumbuhan Ekonomi Berkelanjutan, Ketua DPRD Bengkulu Utara Hadiri Rakor yang Dipimpin Bupati

Dasar Hukum Adanya Itsbat Nikah

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menjadi landasan utama dalam pengaturan perkawinan di Indonesia. Meskipun undang-undang ini mengatur tentang pencatatan perkawinan, namun terdapat pengecualian bagi perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya undang-undang tersebut. Pasal 2 ayat (2) undang-undang ini mengatur bahwa perkawinan yang telah dilangsungkan menurut hukum agama dan kepercayaan masing-masing, sebelum undang-undang ini mulai berlaku, adalah sah.

Itsbat nikah merupakan proses pengesahan perkawinan yang telah dilakukan namun belum tercatat secara resmi di Kantor Urusan Agama (KUA). Proses hukum ini memiliki landasan hukum yang kuat dalam sistem perundang-undangan Indonesia, khususnya dalam bidang hukum keluarga Islam. Awalnya, Pengadilan Agama hanya berwenang mengesahkan pernikahan yang dilakukan sebelum tahun 1974, yaitu sebelum ada aturan wajib mencatat pernikahan.

BACA JUGA:  KPU Temukan Data Anggota Parpol Ganda, Ada Yang Berstatus Anggota Dewan Aktif

Namun, seiring berjalannya waktu, kewenangan ini diperluas. Kini, siapa pun bisa mengajukan isbat nikah jika tidak memiliki akta nikah. Ketentuan Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 7 ayat 2 dan 3, dalam ayat (2) menyebutkan, “Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah, dapat diajukan Itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama”. Dilanjutkan pada pasal 7 ayat (3) bahwa, “Itsbat nikah yang diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan : (a). Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian; (b). Hilangnya akta nikah; (c). Adanya keraguan tentang sah tidaknya salah satu syarat perkawinan; (d). Adanya perkawinan yang tejadi sebelum berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974; (e). Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974.”

Bayangkan sepasang suami istri yang telah hidup bersama selama puluhan tahun tanpa memiliki akta nikah. Ketika salah satu dari mereka sakit atau meninggal dunia, anak-anak mereka mungkin kesulitan untuk mengurus warisan atau mendapatkan hak-haknya sebagai ahli waris. Inilah salah satu alasan mengapa isbat nikah sangat penting. Proses ini memberikan jaminan hukum bagi keluarga dan memastikan bahwa hak-hak mereka terlindungi.

Peraturan Mahkamah Agung (Perma) juga turut mengatur mengenai pelaksanaan sidang isbat nikah. Perma Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pelayanan Terpadu Sidang Keliling Pengadilan Agama Dalam Rangka Penerbitan Akta Perkawinan, Buku Nikah dan Akta Kelahiran, misalnya, mengatur tentang mekanisme pelaksanaan sidang isbat nikah secara terpadu antara Pengadilan Agama dengan pemerintah daerah.

BACA JUGA:  Kejar Peringkat Terbaik di Provinsi Bengkulu, UPP Satgas Saber Pungli BU Gelar Rapat Evaluasi Triwulan III

Sejarah singkat adanya Itsbat Nikah dan Perannya Pengadilan Agama

Institusi pernikahan dalam masyarakat Indonesia memiliki akar sejarah yang panjang dan kompleks. Sebelum adanya aturan pencatatan perkawinan secara resmi, banyak pasangan yang menikah secara adat atau agama tanpa melalui prosedur negara. Pernikahan-pernikahan semacam ini seringkali tidak memiliki bukti tertulis yang kuat.

Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pemerintah mulai mewajibkan pencatatan perkawinan secara resmi. Aturan ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum bagi pasangan suami istri dan anak-anak mereka, serta untuk memudahkan pengelolaan data kependudukan.

Namun, bagi pasangan yang telah menikah sebelum berlakunya undang-undang tersebut, atau mereka yang menikah secara siri, muncul permasalahan terkait status pernikahan mereka.

Untuk mengatasi permasalahan tersebut, kemudian muncullah konsep isbat nikah. Isbat nikah pada dasarnya adalah proses pengesahan atau penetapan secara hukum terhadap pernikahan yang telah dilakukan namun belum tercatat secara resmi.

Melalui proses peradilan agama, pasangan yang mengajukan permohonan isbat nikah akan diminta untuk membuktikan bahwa mereka telah melakukan pernikahan sesuai dengan ketentuan agama dan hukum yang berlaku. Jika bukti-bukti yang diajukan dianggap cukup, maka pengadilan akan mengeluarkan putusan yang menyatakan bahwa pernikahan tersebut sah.

BACA JUGA:  Gegara Antri Minyak Supir Truk Jadi Korban Pengeroyokan

Proses isbat nikah terus berkembang seiring berjalannya waktu. Dulu, sebagian besar permohonan isbat nikah diajukan oleh pasangan yang menikah sebelum adanya aturan pencatatan pernikahan resmi.

Namun, saat ini, banyak pasangan yang menikah setelah tahun 1974 (setelah UU Perkawinan berlaku) juga mengajukan permohonan isbat nikah. Alasannya beragam, mulai dari kehilangan akta nikah, pernikahan yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi, hingga alasan-alasan lain.

Meskipun demikian, ada sebuah ketidaksesuaian dalam praktik peradilan. Pengadilan Agama sering kali mengabulkan permohonan isbat nikah untuk pernikahan yang terjadi setelah tahun 1974, padahal secara hukum hal ini sebenarnya tidak dibenarkan.

Undang-Undang Peradilan Agama membatasi kewenangan pengadilan dalam mengabulkan permohonan isbat nikah hanya untuk pernikahan yang terjadi sebelum tahun 1974 atau dalam kondisi tertentu seperti kehilangan akta nikah untuk keperluan perceraian.

Namun, itsbat nikah sangat dibutuhkan oleh masyarakat, maka hakim Pengadilan Agama melakukan “ijtihad” dengan menyimpangi tersebut, kemudian mengabulkan permohonan itsbat nikah berdasarkan ketentuan Pasal 7 Ayat (3) huruf e Kompilasi Hukum Islam. Apabila perkawinan yang dimohonkan untuk diitsbatkan itu tidak ada halangan perkawinan sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka Pengadilan Agama akan mengabulkan permohonan itsbat nikah meskipun perkawinan itu dilaksanakan pasca berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

BACA JUGA:  Tidak Hadiri Undangan Klarifikasi, Polda Banten Segera Lakukan Gelar Perkara

Padahal, Kompilasi Hukum Islam (KHI) tidak termasuk dalam hierarki Peraturan Perundang-Undangan yang disebutkan dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Oleh karena itu, penetapan itsbat nikah oleh Pengadilan Agama tersebut, tidak lebih hanya sebagai kebijakan untuk mengisi kekosongan hukum yang mengatur tentang itsbat nikah terhadap perkawinan yang dilaksanakan pasca berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Pengadilan Agama berperan sentral dalam proses isbat nikah. Sebagai institusi peradilan yang berwenang dalam perkara keluarga berbasis hukum Islam, Pengadilan Agama memiliki kewenangan untuk memverifikasi, memutuskan, dan menyelesaikan perkara-perkara terkait pengesahan pernikahan.

Salah satu tugas utamanya adalah memeriksa kebenaran dan keabsahan pernikahan yang diajukan. Untuk memenuhi persyaratan ini, pemohon wajib menghadirkan bukti-bukti yang autentik, seperti keterangan saksi atau dokumen-dokumen keagamaan, yang dapat membuktikan bahwa pernikahan tersebut telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan hukum Islam.

BACA JUGA:  Berniat Mengelabui Suami, IRT Di Bengkulu Selatan Ngaku Jadi Korban Perampokan

Pengadilan Agama memiliki tugas penting dalam memutuskan apakah sebuah pernikahan yang belum tercatat secara resmi dapat dianggap sah secara hukum. Hakim akan memeriksa secara cermat apakah pernikahan tersebut telah memenuhi semua syarat yang ditetapkan dalam hukum Islam, seperti adanya akad nikah yang sah dan disaksikan oleh dua orang saksi yang dapat dipercaya.

Setelah melalui proses pemeriksaan yang teliti, pengadilan akan mengeluarkan keputusan yang bersifat final dan mengikat. Dengan adanya putusan pengadilan ini, pasangan yang bersangkutan dapat mendaftarkan pernikahan mereka di Kantor Urusan Agama (KUA) dan mendapatkan akta nikah.

Selain itu, proses isbat nikah juga sangat penting bagi perempuan yang menikah secara siri. Melalui proses ini, perempuan dapat memperoleh pengakuan atas status pernikahannya dan terlindungi dari berbagai bentuk diskriminasi yang seringkali mereka alami.

BACA JUGA:  Demi Pelayanan Prima, Segenap Karyawan Perumda Unit Ketahun Tengah Menguras Sumur Intek

Penutup

Semoga tulisan ini dapat mengingatkan kita semua sebagai pembaca dan khususnya sebagai penulis sendiri terkait peranan penting yang dipegang oleh Pengadilan Agama dalam memberikan kepastian hukum bagi pasangan yang menikah secara siri melalui proses isbat nikah.

Sebagai lembaga peradilan yang berwenang dalam perkara keluarga, pengadilan agama berperan dalam memeriksa, memutus, dan memberikan penetapan terhadap sah tidaknya suatu pernikahan.

Selain itu, pengadilan juga berfungsi melindungi hak-hak individu, terutama perempuan, yang seringkali mengalami diskriminasi dalam konteks pernikahan siri. Meskipun demikian, masih terdapat sejumlah tantangan yang perlu diatasi untuk meningkatkan efektivitas proses isbat nikah, seperti penyederhanaan prosedur dan peningkatan kesadaran masyarakat. Dengan demikian, diharapkan pengadilan agama dapat terus berperan aktif dalam mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat. ***

error: